BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Indonesia merupakan negara
kepulauan yang memiki lebih dari 17.000 pulau dengan total wilayah 735.355 mil
persegi. Indonesia
dan menempati peringkat keempat dari 10 negara berpopulasi terbesar di dunia
(sekitar 220 juta jiwa). Tanpa sarana transportasi yang memadai maka akan sulit
untuk menghubungkan seluruh daerah di kepulauan ini.
Kebutuhan transportasi
merupakan kebutuhan turunan (derived demand) akibat aktivitas ekonomi,
sosial, dan sebagainya. Dalam kerangka makro-ekonomi, transportasi merupakan
tulang punggung perekonomian nasional, regional, dan lokal, baik di perkotaan
maupun di pedesaan. Harus diingat bahwa sistem transportasi memiliki sifat
sistem jaringan di mana kinerja pelayanan transportasi sangat dipengaruhi oleh
integrasi dan keterpaduan jaringan.
Sarana transportasi yang ada
di darat, laut, maupun udara memegang peranan vital dalam aspek sosial ekonomi
melalui fungsi distribusi antara daerah satu dengan daerah yang lain.
Distribusi barang, manusia, dll. akan menjadi lebih mudah dan cepat bila sarana
transportasi yang ada berfungsi sebagaimana mestinya sehingga transportasi
dapat menjadi salah satu sarana untuk mengintegrasikan berbagai wilayah di
Indonesia. Melalui transportasi penduduk antara wilayah satu dengan wilayah
lainya dapat ikut merasakan hasil produksi yang rata maupun hasil pembangunan
yang ada.
Skala ekonomi (economy of
scale), lingkup ekonomi (economy of scope), dan keterkaitan (interconnectedness)
harus tetap menjadi pertimbangan dalam pengembangan transportasi dalam kerangka
desentralisasi dan otonomi daerah yang kerap didengungkan akhir-akhir ini. Ada
satu kata kunci ini disini, yaitu integrasi, di mana berbagai pelayanan
transportasi harus ditata sedemikian rupa sehingga saling terintegrasi,
misalnya truk pengangkut kontainer, kereta api pengangkut barang, pelabuhan
peti kemas, dan angkutan laut peti kemas, semuanya harus terintegrasi dan
memungkinkan sistem transfer yang terus menerus (seamless).
Kebutuhan angkutan bahan-bahan
pokok dan komoditas harus dapat dipenuhi oleh sistem transportasi yang berupa
jaringan jalan, kereta api, serta pelayanan pelabuhan dan bandara yang efisien.
angkutan udara, darat, dan laut harus saling terintegrasi dalam satu sistem
logistik dan manajemen yang mampu menunjang pembangunan nasional.
Transportasi jika ditilik dari
sisi sosial lebih merupakan proses afiliasi budaya dimana ketika seseorang
melakukan transportasi dan berpindah menuju daerah lain maka orang tersebut
akan menemui perbedaan budaya dalam bingkai kemajemukan Indonesia.
Disamping itu sudut pandang sosial juga mendeskripsikan bahwa transportasi dan
pola-pola transportasi yang terbentuk juga merupakan perwujudan dari sifat
manusia. Contohnya, pola pergerakan transportasi penduduk akan terjadi secara
massal dan masif ketika mendekati hari raya. Hal ini menunjukkan perwujudan
sifat manusia yang memiliki tendesi untuk kembali ke kampung halaman setelah
lama tinggal di perantauan.
Pada umumnya perkembangan
sarana transportasi di Indonesia
berjalan sedikit lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia dan
Singapura. Hal ini disebabkan oleh perbedaan regulasi pemerintah masing-masing
negara dalam menangani kinerja sistem transportasi yang ada. Kebanyakan dari
Negara maju menganggap pembangunan transportasi merupakan bagian yang integral
dari pembangunan perekonomian. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana
transportasi seperti halnya dermaga, pelabuhan, bandara, dan jalan rel dapat
menimbulkan efek ekonomi berganda (multiplier effect) yang cukup
besar, baik dalam hal penyediaan lapangan kerja, maupun dalam memutar konsumsi
dan investasi dalam perekonomian lokal dan regional.
Kurang tanggapnya pemerintah
dalam menanggapi prospek perkembangan ekonomi yang dapat diraih dari tansportasi
merupakan hal yang seharusnya dihindari. Sistem transportasi dan logistik yang
efisien merupakan hal penting dalam menentukan keunggulan kompetitif dan juga
terhadap pertumbuhan kinerja perdagangan nasional dalam ekonomi global.
Jaringan urat nadi perekonomian akan sangat tergantung pada sistem transportasi
yang andal dan efisien, yang dapat memfasilitasi pergerakan barang dan
penumpang di berbagai wilayah di Indonesia.
Tujuan
Penulisan
Bertolak dari penjelasan latar belakang diatas
maka yang menajdi tujuan dari makalah ini adalah Untuk mengetahui tingkat
transportasi dan perekonomian diMaluku.
Manfat
Penulisan
1.
Sebagai Bahan masukan bagi Matakuliah Geografi
Transportasi
2.
Sebagai Tugas Matakuliah geografi Transportasi
Rumusan
Masalah
Betolak dari latar belakang diatas maka yang
menjadi permasalahan adalah Bagaimana Transportasi dan Pertumbuhan Ekonomi di
Maluku
BAB II
TRANSPORTASI DAN PERTUMBUHAN
EKONOMI DAERAH
Pada hakikatnya transportasi
merupakan proses perpindahan barang, manusia, maupun jasa. Dalam proses
perpindahan tersebut terdapat suatu proses dimana seseorang akan melakukan
aktivitas ekonomi. Salah satu contoh yang paling sederhana adalah ketika
seorang mahasiswa berangkat menuju kampus menggunakan sarana transportasi umum
berupa bus. Ketika mahasiswa menumpang bus tersebut telah terjadi aktivitas
ekonomi disaat mahasiswa membayar ongkos kepada kernet. Dalam perjalanan
biasanya pedagang asongan akan turut menumpang bus dengan menawarkan barang
daganganya. Ketika itu kembali lagi terjadi aktivitas ekonomi disaat mahasiswa
tersebut membeli barang dagangan pedagang tersebut. Melalui contoh sederhana
tersebut dapat dimaknai bahwa transportasi merupakan sarana penunjang bagi
aktifitas ekonomi.
Dalam era Otonomi daerah saat
ini, transportasi memegang peranan penting bagi kelancaran pertumbuhan ekonomi
daerah tersebut. Perubahan sistem dari sentralisasi menjadi desentralisasi
membawa angin segar bagi daerah agar sebisa mungkin dapat mendayagunakan
kemampuan dan potensi daerahnya untuk kelangsungan pembangunan. Distribusi
barang dan jasa yang baik dan lancar menuntut keberadaan sarana dan prasarana
transportasi yang memadai agar distribusi mampu mengcover seluruh lingkup
daerah tersebut.
Sebagai
contoh adalah Propinsi Maluku. Semenjak pemberlakuan otonomi daerah, propinsi
Maluku dituntut untuk lebih mandiri dalam pembangunan daerahnya dan pembangunan
daerah Maluku akan berjalan lancar jika distribusi barang, jasa, maupun manusia
(dalam hal ini adalah tenaga ahli) berjalan sebagaimana mestinya. Namun
demikian perbedaan spasial yang ada antara kota-kota besar di Maluku dan daerah
pedalaman memberikan hambatan yang cukup besar dalam distribusi. Perbedaan
spasial disamping menyajikan keberagaman sumber daya antar daerah juga
memberikan hambatan spasial yang tidak ringan baik itu dikarenakan oleh
perbedaan topografi, perbedaan kultur, dan sebagainya. Selama ini distribusi
barang dan jasa yang mampu mengcover seluruh wilayah Maluku cukup mengandalkan
sarana transportasi udara berupa penerbangan perintis. Era otonomi daerah juga
memberikan kesempatan bagi tiap-tiap daerah untuk memekarkan diri. Hal tersebut
menyebabkan banyak wilayah mulai dari tingkat Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan,
sampai Desa yang ingin melepaskan diri dari struktur yang lama karena merasa
mampu mandiri untuk berdiri sebagai Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan
sampai dengan Desa yang baru. Salah satu contoh propinsi baru hasil pemekaran
daerah adalah propinsi Bangka-Belitung. Propinsi baru penghasil timah ini
memiliki modal yang lebih dari cukup untuk berdiri sebagai propinsi. Namun
demikian hambatan spasial berupa kondisi fisik propinsi tersebut yang berupa
kepulauan dengan dua pulau terbesar yaitu pulau Bangka dan Belitung
cukup memberikan permasalahan bagi distribusi pembangunan. Pengadaan dan
optimalisasi armada transportasi baik armada laut maupun udara akan memudahkan
distribusi barang dan jasa bagi propinsi baru tersebut. Dengan mengandalkan
sarana transportasi laut yang memiliki jumlah armada yang belum memadai,
nampaknya Propinsi Bangka-Belitung patut memikirkan optimalisasi sarana
transportasi yang ada maupun memikirkan jalur transportasi udara agar mampu
melancarkan distribusi pembangunan.
Dari beberapa contoh diatas
dapat disimpulkan bahwa transportasi memegang peranan vital bagi pembangunan
ekonomi daerah. Melalui tersedianya sarana dan prasarana yang baik maka
distribusi barang, jasa, maupun manusia akan mampu berjalan lebih lancar,
cepat, dan dalam kuantitas yang besar sehingga pembangunan di daerah akan
berjalan dengan mulus.
A. TRANSPORTASI PUBLIK DAN KONDISI SOSIAL MASYARAKAT
PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN
Dalam banyak kasus di lapangan
dapat kita amati bahwa secara tidak langsung transportasi mencerminkan kondisi
sosial suatu masyarakat. Pola pergerakan transportasi manusia juga merupakan
salah satu cerminan kondisi sosial suatu masyarakat. Dalam waktu-waktu tertentu
terkadang sejumlah besar penduduk melakukan pergerakan secara bersamaan secara
masif dengan menggunakan sarana transportasi publik. Tentunya pergerakan
penduduk ini akan berimplikasi pada perekonomian pula. Salah satu contoh dari
kasus tersebut adalah fenomena mudik Lebaran.
Terdapat suatu fenomena
menarik di masyarakat yang bisa disaksikan setiap tahun menjelang Idul Fitri
atau Lebaran. Sebagian masyarakat daerah yang kebetulan bekerja di kota-kota
besar menjalankan ritual tahunan berupa mudik ke tempat asalnya. Kerinduan
terhadap daerah tempat dilahirkan dan dibesarkan, keinginan bersilaturahmi
serta berkumpul bersama saudara dan handai taulan, serta motivasi lain semisal
ingin menunjukkan keberhasilan hidup di kota, menjadi faktor pendorong dan
alasan bagi warga masyarakat untuk pulang kampung.
Peristiwa itu seharusnya bisa
ditangkap oleh pemerintah daerah untuk membantu pengembangan ekonomi Kabupaten atau
Kota. Meskipun masa tinggal para pemudik di daerah asalnya tidak terlalu lama,
hal itu tetap berdampak terhadap perekonomian daerah. Biasanya beberapa
pemerintah daerah sudah menyiapkan acara penyambutan secara khusus terhadap
para pemudik tersebut. Pola semacam itu bisa dikembangkan sehingga akhirnya
timbul sinergi antara pemudik, kota besar, dan perekonomian daerah asal mereka.
Aktivitas mudik, terutama pada
saat Lebaran di samping Natal dan Tahun Baru, merupakan perhelatan akbar
tahunan yang diselenggarakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya pelaku
mudik yang harus bekerja keras demi mewujudkan keinginan mereka, namun
pemerintah dituntut pula berpartisipasi aktif dalam kegiatan itu.
Penyediaan sarana transportasi
publik yang cukup, nyaman, dan memadai merupakan sebagian kecil tugas
pemerintah yang dilakukan setiap tahun. Tahun lalu diperkirakan dua sampai tiga
juta warga Jakarta kembali ke daerah asalnya untuk merayakan Lebaran bersama
keluarga. Angka itu berarti lebih dari 30% total penduduk Jakarta yang
berjumlah sekitar 8,4 juta jiwa.
Secara nasional diperkirakan
ada sekitar 13,5 juta pemudik yang kembali ke daerah asalnya. Meski bersifat
temporer, perpindahan penduduk dalam jumlah besar itu tentu berdampak secara
ekonomi baik terhadap kota tempat bekerja maupun daerah-daerah yang dilalui dan
dituju. Umumnya kaum pekerja yang ingin mudik harus mengumpulkan dan
mempersiapkan dana jauh-jauh hari. Tidak berlebihan jika dikatakan mereka
setahun penuh bekerja dan mengumpulkan uang dengan salah satu motivasinya agar
bisa berlebaran di kampung halaman.
Perlu dicermati adalah apabila
kegiatan mudik dikalkulasi secara ekonomi maka akan ditemukan fakta bahwa
aktivitas tersebut melibatkan perputaran uang tidak sedikit. Memang belum ada
penelitian dan perhitungan komprehensif mengenai masalah itu, namun diduga
perputaran uang yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan
kegiatan mudik bisa triliunan rupiah.
Fenomena ekonomi semacam itu
menjadi bahan perdebatan antara pelaku, ekonom, dan pemerintah. Ada yang
beranggapan mudik adalah pemborosan dan merupakan aktivitas yang bersifat counter
productive. Secara ekonomi hal itu terkait dengan pemahaman mengenai
konsep opportunity cost, yaitu uang yang sudah dipakai untuk satu
kegiatan tidak akan bisa dimanfaatkan untuk kegiatan lain.
B. Kondisi Transportasi Publik Indonesia
Setelah membahas pengaruh
mudik lebaran dan aktivitas ekonomi ada baiknya kita mengakaji kondisi sarana
transportasi publik yang selama ini menghubungkan seluruh daerah di Indonesia dan
menjadi pendukung aktivitas ekonomi masyarakat.
Secara garis besar kondisi
sarana dan prasarana transportasi publik di Indonesia masih belum dioptimalkan.
Hal tersebut dapat dievaluasi secara sederhana melalui pengamatan di lapangan.
Dalam bahasa keseharian, terdapat empat hal yang kita bisa jadikan tolok ukur
dalam melakukan evaluasi sederhana kondisi transportasi kita, yaitu:
keselamatan, keamanan, keterjangkauan, dan kenyamanan (keempat hal ini
selanjutnya disebut dengan 4K).
Aspek pertama dan utama adalah
masalah keselamatan. Hal ini tidak bisa ditawar karena kita semua tentunya
tidak menginginkan musibah menimpa diri kita. Berbagai data kecelakaan (Jasa
Raharja, kepolisian, Departemen Perhubungan) yang selalu berbeda menunjukkan
bahwa angka korban kecelakaan meninggal dunia dan luka cukup mencengangkan,
yaitu mencapai sekitar 80 orang per hari.
Aspek kedua adalah keamanan.
Berbagai survei transportasi, baik di perkotaan maupun antarkota dan desa
memperlihatkan bahwa para penumpang umumnya masih menempatkan aspek ini ke
dalam dua hal utama dalam melakukan perjalanan. Wawancara sederhana dengan para
pemudik Lebaran lalu dari berbagai modal angkutan menunjukkan bahwa keamanan
merupakan salah satu faktor yang sangat dipertimbangkan oleh para pemudik. Kenyataan
ini konsisten dengan berbagai kajian bahwa faktor keamanan sangat memengaruhi
keputusan seseorang dalam menentukan jenis kendaraan yang dipilih, misalnya bis
dengan kereta api, pesawat dengan kendaraan carteran, dan lain-lain.
Ketiga adalah masalah keterjangkauan.
Seseorang memilih alat angkut tentunya berdasarkan anggaran di kantong
masing-masing. Ada yang bisa naik kapal terbang atau naik kapal laut,
selebihnya dengan bis, kereta api, kendaraan pribadi, sepeda motor, atau yang
lainnya. Pemerintah terlihat telah berupaya maksimal untuk mengatur tarif
sehingga aspek keterjangkauan ini tidak menyusahkan rakyat banyak. Pelayanan
angkutan kelas ekonomi, yang sering kali dianggap sebagai kewajiban pelayanan
umum, telah dicoba untuk diatur sehingga masyarakat berpenghasilan rendah dapat
memiliki berbagai aksesibilitas dalam aktivitas kesehariannya.
Fenomena low cost carrier atau
kapal terbang yang terjangkau menyebabkan sebagian pemudik angkutan laut
berpindah naik kapal terbang. Bandara menjadi semakin ramai dan bahkan
overcrowded sehingga masalah 4K juga sekarang menular di angkutan udara. Di
angkutan darat, tekanan terhadap kereta api tidak sedramatis dulu karena
sekarang banyak alternatif bagi pemudik, misalnya bis yang jumlahnya cukup
banyak, mobil carteran, dan bahkan sepeda motor yang semakin menjadi favorit di
kalangan tertentu karna keterjangkauannya.
Aspek terakhir dari 4K adalah
kenyamanan. Dalam suasana di mana pasokan (supply) jauh lebih kecil
daripada permintaan (demand), maka aspek ini tampaknya harus agak
ditoleransi oleh para penumpang angkutan umum, utamanya yang berkantong
pas-pasan. Kenyamanan tampaknya menjadi aspek luxury bagi sebagian besar
pengguna transportasi di Indonesia. Dari mulai mereka yang berjalan kaki, naik
kendaraan tidak bermotor, sepeda motor, hingga kendaraan mewah, tidak akan
terlepas dari aspek ketidaknyamanan, tentunya dengan derajat yang berbeda-beda.
Bagi mereka yang
berpenghasilan rendah, aspek survival akan lebih mengemuka dalam
melakukan perjalanan. Sedangkan bagi mereka yang berpenghasilan menengah ke
atas, perjalanan pada waktu, ruang, dan moda yang sama (kendaraan pribadi)
biasanya akan menyebabkan kemacetan dan berujung pada ketidaknyamanan.
Seperti yang telah dijelaskan
dalam bagian sebelumnya transportasi memberikan kontribusi yang cukup
signifikan dalam perdagangan. Kelancaran dan ketepatan waktu pengiriman barang
baik itu untuk ekspor maupun impor menjadi harga mutlak dalam perdagangan
internasional.
Indonesia sebagai negara yang
melakukan perdagangan dengan negara lain tentunya patut memperhatikan fakta
tersebut. Selama ini arus barang dan jasa yang masuk menuju Indonesia
didominasi oleh jalur udara dan perairan, mengingat kondisi Indonesia berupa
negara kepulauan sehingga arus barang dan jasa yang masuk melalui Indonesia
terbatas di Kalimantan (Malaysia Serawak), dan Papua (Papua New Guinea). Jalur
perairan didominasi oleh kapal-kapal kargo dan tanker besar yang memasok barang
baik keluar maupun masuk dari pelabuhan-pelabuhan utama di Indonesia.
Kebanyakan dari kapal-kapal tersebut datang melalui Selat Malaka menuju
Singapura dan berlabuh di pelabuhan utama Jawa. Jalur udara merupakan jalur
yang lebih fleksibel dalam mengcover seluruh wilayah Indonesia, namun kapasitas
angkutnya lebih terbatas dibandingkan dengan kapal.
Dalam aplikasinya di lapangan,
kebanyakan hambatan dalam pendistribusian barang melalui perairan adalah faktor
regulasi yang rumit dan pungutan liar. Akibatnya banyak pengiriman barang yang
tertunda akibat waktu pengurusan izin. Disamping itu masalah keamanan juga
menjadi isu yang penting. Selama ini kawasan selat Malaka masih disatroni oleh
kawanan perompak yang kebanyakan bersembunyi di daerah Sungai Musi Palembang.
Hambatan fisik berupa kondisi cuaca juga berpengaruh, namun semenjak ditemukanya
peralatan navigasi perairan modern hambatan ini dapat dieliminir.
Hambatan dalam pendistribusian
barang maupun jasa melalui udara kembali tidak lepas dari prosedur imigrasi dan
pungutan liar sehingga arus distribusi cenderung melambat. Namun demikian jalur
udara merupakan jalur distribusi yang permasalahnya tidak serumit jalur
distribusi perairan dan elatif aman sehingga kerap dijadikan sarana bagi
penyelundup untuk menyelundupkan barang baik keluar maupun masuk menuju Indonesia.
Hambatan-hambatan tersebut terkadang
juga terkadang datang dari negara lain. Contohnya adalah masalah embargo
ekonomi. Melalui embargo ekonomi negara lain dapat menutup hubungan dagang dan
berakibat pada instabilitas pemasukan negara dari perdagangan.
Berbagai permasalahan dalam
transportasi barang dan jasa baik dari luar negeri maupun dalam negeri dapat
mengurangi volume perdagangan nasional. Hal tersebut dapat menciptakan
penurunan volume dagang dan investasi. Pemerintah sudah sepatutnya memberikan
perhatian yang cukup dalam menangani permasalahan-permasalahan tersebut untuk
meningkatkan pemasukan Negara yang berguna bagi pembangunan.
C. Kebutuhan Energi di Sektor Transportasi
Proyeksi kebutuhan energi
untuk sektor transportasi termasuk di dalamnya subsektor transportasi darat,
udara, air dan kereta api. Kebutuhan energi yang terbesar didominasi oleh
angkutan darat sebesar 80 % dari total kebutuhan. Transportasi darat
diperkirakan akan tumbuh sebesar 5.2 % per tahun sedangkan untuk transportasi
air dan udara naik masing-masing sebesar 7.1 % dan 6.6% pertahun. Transportasi
air yang tumbuh paling cepat hanya mempunyai pangsa 14 % sedangkan transportasi
udara dengan pangsa 9 % pada yang tumbuh sebesar 6.5 % per tahun. Pangsa
konsumsi energi listrik ini masih sangat kecil yaitu sebesar 0.2 % pada tahun
2021 atau sebesar 5 PJ/tahun.
Berdasarkan skenario DNC dapat
dihitung emisi polutan yang ditimbulkan oleh penggunaan energi di sektor
transportasi berdasarkan koefisien emisi kendaraan bermotor. Untuk menentukan
koefisien emisi dilakukan pengambilan sampel gas buang
kendaraan bermotor pada saat diam. Dilakukan juga observasi dengan menggunakan
kamera video pada berbagai jenis kondisi lalu lintas. Pengambilan sampel
dilakukan pada 350 kendaraan secara random di berbagai tempat di Jakarta. Dengan
tambahan informasi dari literatur dan dengan menggunakan data hasil pengukuran
dapat ditentukan koefisien emisi. Yang termasuk dalam
perhitungan ini adalah emisi NO2, SO2, SPM dan VHC untuk wilayah Jawa.
Beberapa kebijaksanaan
pemerintah yang telah dilaksanaan untuk mengurangi emisi polutan dan
diversifikasi penggunaan energi di sektor transportasi ditunjukkan pada Tabel
2. Bensin yang saat ini beredar yaitu Premium RON 92, Premix RON 94, Premium TT
dan Super TT. Dengan adanya bensin tanpa Pb ini maka terbuka peluang untuk
pemasangan katalitik konverter yang dapat mengurangi emisi polutan dari gas
buang kendaraan bermotor. Sedangkan penggunaan kendaraan berbahan bakar gas
(CNG maupun LPG) disamping akan mengurangi emisi juga untuk menunjang program diversifikasi.
Pada skenario ERC pengurangan emisi ditekankan pada penggunaan katalitik
konverter pada kendaraan berbahan bakar bensin dan penggunaan mesin diesel yang
beremisi rendah. Dengan skenario ERC dapat mengurangi emisi rata-rata sebesar
85 % bila dibandingkan dengan skenario DNC. Pengurangan emisi SO2, NO2, VHC dan
SPM pada tahun 2021 di Jawa masing-masing adalah sebesar 0.07 juta ton per
tahun, 0.65 juta ton per tahun, 0.20 juta ton per tahun dan 0.01 juta ton per
tahun. Pengurangan terbesar emisi NO2 dan VHC karena penggunaan katalitik
konverter.
D. Penggunaan Teknologi Pengurangan Emisi
Teknologi yang dapat digunakan
untuk mengurangi emisi gas buang adalah penggunaan katalitik konverter pada
kendaraan yang berbahan bakar bensin dan penggunaan mesin diesel yang beremisi
rendah. Beberapa negara maju telah melakukan penelitian serta menggunakan
katalitik konverter untuk mengurangi emisi NOx, CO dan
VHC dari gas buang kendaraan yang menggunakan BBM. Pemasangan katalitik
konverter untuk mobil baru dapat menurunkan emisi NOx, CO dan VHC sebesar 90
%.Persentasi penurunan emisi Nox dapat berkurang sampai menjadi 70 % untuk
mobil yang sudah beroperasi lebih dari 80.000 km. Katalitik konverter ini hanya
bisa diterapkan untuk kendaraan yang menggunakan BBM yang tidak mengandung Pb
(tanpa TEL). Biaya tambahan untuk pemasangannya adalah sebesar 5 % dari
rata-rata harga mobil. Penetapan suatu standar yang berupa undang-undang atau surat keputusan
diperlukan sebagai upaya untuk pengendalian pencemaran. Sampai saat ini sudah
ada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Keputusan Menteri KLH tahun 1988 tentang Pedoman Baku Mutu Lingkungan,
Keputusan Menteri KLH tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak
dan untuk DKI Jakarta ada SK Gubernur tahun 1996 tentang Baku Mutu Udara Ambien
dan Tingkat Kebisingan. Dengan adanya standar ini diperlukan pelaksana
pengawasan sehingga baku
mutu yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Dengan meningkatkan efisiensi
penggunaan energi maka energi yang dibutuhkan per unit output akan berkurang
sehingga akan mengurangi besarnya emisi per unit operasi kendaraan tiap
kilometer. Peluang untuk meningkatkan efisiensi dan konservasi masih terbuka
untuk sektor transportasi. Penetapan suatu standar yang berupa undang-undang
atau surat
keputusan diperlukan sebagai upaya untuk pengendalian pencemaran. Sampai saat
ini sudah ada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Keputusan Menteri KLH tahun 1988 tentang Pedoman Baku Mutu
Lingkungan, Keputusan Menteri KLH tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi
Sumber Tidak Bergerak dan
untuk DKI Jakarta ada SK Gubernur tahun 1996 tentang Baku Mutu Udara Ambien dan
Tingkat Kebisingan. Dengan adanya standar ini diperlukan pelaksana pengawasan
sehingga baku
mutu yang telah ditetapkan dapat tercapai. Dengan meningkatkan efisiensi
penggunaan energi maka energi yang dibutuhkan per unit output akan berkurang
sehingga akan mengurangi besarnya emisi per unit operasi kendaraan tiap kilometer.
Peluang untuk meningkatkan efisiensi dan konservasi masih terbuka untuk sektor
transportasi.
BAB III
KESIMPULAN
Sektor transportasi tumbuh dan
berkembang seiring dengan peningkatan erekonomian nasional. Transportasi
merupakan sarana yang penting bagi masyarakat modern untuk memperlancar
mobilitas manusia dan barang. Saat ini BBM merupakan andalan utama bahan bakar
di sektor transportasi. Pada tahun delapan puluhan, pemakaian bahan bakar
minyak (BBM) di sektor transportasi telah mengalami pertumbuhan sebesar 6,8 %
per tahun. Mengingat sumber daya minyak bumi semakin terbatas maka perlu
diupayakan diversifikasi energi untuk sektor transportasi. Gas buang sisa
pembakaran BBM mengandung bahan-bahan pencemar seperti SO2 (Sulfur Dioksida), NOx
(Nitrogen Oksida), CO (Karbon Monoksida), VHC (Volatile hydrocarbon),
SPM (Suspended Particulate Matter) dan partikel lainnya. Bahan-bahan
pencemar tersebut dapat berdampak negatif terhadap manusia ataupun ekosistem
bila melebihi konsentrasi tertentu.
Dengan peningkatan penggunaan
BBM untuk sektor transportasi maka gas buang yang mengandung polutan juga akan
naik dan akan mempertinggi kadar pencemaran udara. Oleh karena itu perlu suatu
strategi yang tepat dalam penggunaan energi di sektor transportasi untuk
mengurangi emisi polutan ini sehingga penggunaan energi
dapat tetap ramah terhadap lingkungan.
Dengan skenario DNC penggunaan
energi di sektor transportasi untuk jangka panjang akan dapat mengakibatkan
pencemaran lingkungan akibat emisi gas buang. Pencemaran lingkungan tersebut
dapat dikurangi dengan menerapkan teknologi baru untuk kendaraan bermotor.
Teknologi yang bisa diterapkan untuk mengurangi emisi khususnya yang berupa
emisi NOx, CO dan VHC adalah : penggantian BBM ke BBG,
pemasangan katalitik konverter pada kendaraan berbahan bakar bensin dan
penggunaan mesin diesel yang beremisi rendah. Teknologi ini diterapkan pada
skenario ERC sehingga dapat mengurangi emisi NO2, SO2, SPM dan VHC.
Peluang terbesar untuk
mengurangi emisi adalah penggunaan katalitik konverver dan penggunaan mesin
diesel yang beremisi rendah karena BBM Dari pemaparan diatas dapat ditarik
kesimpulan mengenai transportasi dan pengaruhnya pada aspek sosial dan ekonomi
antara lain adalah :
- Kebutuhan transportasi merupakan kebutuhan turunan (derived demand) akibat aktivitas ekonomi, sosial, dan sebagainya.
- Sarana transportasi yang ada di darat, laut, maupun udara memegang peranan vital dalam aspek sosial ekonomi melalui fungsi distribusi antara daerah satu dengan daerah yang lain.
- Kebanyakan dari negara maju menganggap pembangunan transportasi merupakan bagian yang integral dari pembangunan perekonomian. Ada baiknya pemerintah memperhatikan hal tersebut.
- Sistem transportasi dan logistik yang efisien merupakan hal penting dalam menentukan keunggulan kompetitif dan juga terhadap pertumbuhan kinerja perdagangan nasional dalam ekonomi global.
- Secara tidak langsung transportasi mencerminkan kondisi social suatu masyarakat.
- Berbagai permasalahan dalam transportasi barang dan jasa baik dari luar negeri maupun dalam negeri dapat mengurangi volume perdagangan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar