Selasa, 17 Mei 2016

MAKALAH GEOGRAFI TRANSPORTASI



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiki lebih dari 17.000 pulau dengan total wilayah 735.355 mil persegi. Indonesia dan menempati peringkat keempat dari 10 negara berpopulasi terbesar di dunia (sekitar 220 juta jiwa). Tanpa sarana transportasi yang memadai maka akan sulit untuk menghubungkan seluruh daerah di kepulauan ini.
Kebutuhan transportasi merupakan kebutuhan turunan (derived demand) akibat aktivitas ekonomi, sosial, dan sebagainya. Dalam kerangka makro-ekonomi, transportasi merupakan tulang punggung perekonomian nasional, regional, dan lokal, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Harus diingat bahwa sistem transportasi memiliki sifat sistem jaringan di mana kinerja pelayanan transportasi sangat dipengaruhi oleh integrasi dan keterpaduan jaringan.
Sarana transportasi yang ada di darat, laut, maupun udara memegang peranan vital dalam aspek sosial ekonomi melalui fungsi distribusi antara daerah satu dengan daerah yang lain. Distribusi barang, manusia, dll. akan menjadi lebih mudah dan cepat bila sarana transportasi yang ada berfungsi sebagaimana mestinya sehingga transportasi dapat menjadi salah satu sarana untuk mengintegrasikan berbagai wilayah di Indonesia. Melalui transportasi penduduk antara wilayah satu dengan wilayah lainya dapat ikut merasakan hasil produksi yang rata maupun hasil pembangunan yang ada.
Skala ekonomi (economy of scale), lingkup ekonomi (economy of scope), dan keterkaitan (interconnectedness) harus tetap menjadi pertimbangan dalam pengembangan transportasi dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah yang kerap didengungkan akhir-akhir ini. Ada satu kata kunci ini disini, yaitu integrasi, di mana berbagai pelayanan transportasi harus ditata sedemikian rupa sehingga saling terintegrasi, misalnya truk pengangkut kontainer, kereta api pengangkut barang, pelabuhan peti kemas, dan angkutan laut peti kemas, semuanya harus terintegrasi dan memungkinkan sistem transfer yang terus menerus (seamless).
Kebutuhan angkutan bahan-bahan pokok dan komoditas harus dapat dipenuhi oleh sistem transportasi yang berupa jaringan jalan, kereta api, serta pelayanan pelabuhan dan bandara yang efisien. angkutan udara, darat, dan laut harus saling terintegrasi dalam satu sistem logistik dan manajemen yang mampu menunjang pembangunan nasional.
Transportasi jika ditilik dari sisi sosial lebih merupakan proses afiliasi budaya dimana ketika seseorang melakukan transportasi dan berpindah menuju daerah lain maka orang tersebut akan menemui perbedaan budaya dalam bingkai kemajemukan Indonesia. Disamping itu sudut pandang sosial juga mendeskripsikan bahwa transportasi dan pola-pola transportasi yang terbentuk juga merupakan perwujudan dari sifat manusia. Contohnya, pola pergerakan transportasi penduduk akan terjadi secara massal dan masif ketika mendekati hari raya. Hal ini menunjukkan perwujudan sifat manusia yang memiliki tendesi untuk kembali ke kampung halaman setelah lama tinggal di perantauan.
Pada umumnya perkembangan sarana transportasi di Indonesia berjalan sedikit lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini disebabkan oleh perbedaan regulasi pemerintah masing-masing negara dalam menangani kinerja sistem transportasi yang ada. Kebanyakan dari Negara maju menganggap pembangunan transportasi merupakan bagian yang integral dari pembangunan perekonomian. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana transportasi seperti halnya dermaga, pelabuhan, bandara, dan jalan rel dapat menimbulkan efek ekonomi berganda (multiplier effect) yang cukup besar, baik dalam hal penyediaan lapangan kerja, maupun dalam memutar konsumsi dan investasi dalam perekonomian lokal dan regional.
Kurang tanggapnya pemerintah dalam menanggapi prospek perkembangan ekonomi yang dapat diraih dari tansportasi merupakan hal yang seharusnya dihindari. Sistem transportasi dan logistik yang efisien merupakan hal penting dalam menentukan keunggulan kompetitif dan juga terhadap pertumbuhan kinerja perdagangan nasional dalam ekonomi global. Jaringan urat nadi perekonomian akan sangat tergantung pada sistem transportasi yang andal dan efisien, yang dapat memfasilitasi pergerakan barang dan penumpang di berbagai wilayah di Indonesia.

Tujuan Penulisan
Bertolak dari penjelasan latar belakang diatas maka yang menajdi tujuan dari makalah ini adalah Untuk mengetahui tingkat transportasi dan perekonomian diMaluku.

Manfat Penulisan
1.      Sebagai Bahan masukan bagi Matakuliah Geografi Transportasi
2.      Sebagai Tugas Matakuliah geografi Transportasi

Rumusan Masalah
Betolak dari latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan adalah Bagaimana Transportasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Maluku
BAB II
TRANSPORTASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Pada hakikatnya transportasi merupakan proses perpindahan barang, manusia, maupun jasa. Dalam proses perpindahan tersebut terdapat suatu proses dimana seseorang akan melakukan aktivitas ekonomi. Salah satu contoh yang paling sederhana adalah ketika seorang mahasiswa berangkat menuju kampus menggunakan sarana transportasi umum berupa bus. Ketika mahasiswa menumpang bus tersebut telah terjadi aktivitas ekonomi disaat mahasiswa membayar ongkos kepada kernet. Dalam perjalanan biasanya pedagang asongan akan turut menumpang bus dengan menawarkan barang daganganya. Ketika itu kembali lagi terjadi aktivitas ekonomi disaat mahasiswa tersebut membeli barang dagangan pedagang tersebut. Melalui contoh sederhana tersebut dapat dimaknai bahwa transportasi merupakan sarana penunjang bagi aktifitas ekonomi.
Dalam era Otonomi daerah saat ini, transportasi memegang peranan penting bagi kelancaran pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Perubahan sistem dari sentralisasi menjadi desentralisasi membawa angin segar bagi daerah agar sebisa mungkin dapat mendayagunakan kemampuan dan potensi daerahnya untuk kelangsungan pembangunan. Distribusi barang dan jasa yang baik dan lancar menuntut keberadaan sarana dan prasarana transportasi yang memadai agar distribusi mampu mengcover seluruh lingkup daerah tersebut.
Sebagai contoh adalah Propinsi Maluku. Semenjak pemberlakuan otonomi daerah, propinsi Maluku dituntut untuk lebih mandiri dalam pembangunan daerahnya dan pembangunan daerah Maluku akan berjalan lancar jika distribusi barang, jasa, maupun manusia (dalam hal ini adalah tenaga ahli) berjalan sebagaimana mestinya. Namun demikian perbedaan spasial yang ada antara kota-kota besar di Maluku dan daerah pedalaman memberikan hambatan yang cukup besar dalam distribusi. Perbedaan spasial disamping menyajikan keberagaman sumber daya antar daerah juga memberikan hambatan spasial yang tidak ringan baik itu dikarenakan oleh perbedaan topografi, perbedaan kultur, dan sebagainya. Selama ini distribusi barang dan jasa yang mampu mengcover seluruh wilayah Maluku cukup mengandalkan sarana transportasi udara berupa penerbangan perintis. Era otonomi daerah juga memberikan kesempatan bagi tiap-tiap daerah untuk memekarkan diri. Hal tersebut menyebabkan banyak wilayah mulai dari tingkat Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan, sampai Desa yang ingin melepaskan diri dari struktur yang lama karena merasa mampu mandiri untuk berdiri sebagai Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan sampai dengan Desa yang baru. Salah satu contoh propinsi baru hasil pemekaran daerah adalah propinsi Bangka-Belitung. Propinsi baru penghasil timah ini memiliki modal yang lebih dari cukup untuk berdiri sebagai propinsi. Namun demikian hambatan spasial berupa kondisi fisik propinsi tersebut yang berupa kepulauan dengan dua pulau terbesar yaitu pulau Bangka dan Belitung cukup memberikan permasalahan bagi distribusi pembangunan. Pengadaan dan optimalisasi armada transportasi baik armada laut maupun udara akan memudahkan distribusi barang dan jasa bagi propinsi baru tersebut. Dengan mengandalkan sarana transportasi laut yang memiliki jumlah armada yang belum memadai, nampaknya Propinsi Bangka-Belitung patut memikirkan optimalisasi sarana transportasi yang ada maupun memikirkan jalur transportasi udara agar mampu melancarkan distribusi pembangunan.
Dari beberapa contoh diatas dapat disimpulkan bahwa transportasi memegang peranan vital bagi pembangunan ekonomi daerah. Melalui tersedianya sarana dan prasarana yang baik maka distribusi barang, jasa, maupun manusia akan mampu berjalan lebih lancar, cepat, dan dalam kuantitas yang besar sehingga pembangunan di daerah akan berjalan dengan mulus.
A.  TRANSPORTASI PUBLIK DAN KONDISI SOSIAL MASYARAKAT PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN
Dalam banyak kasus di lapangan dapat kita amati bahwa secara tidak langsung transportasi mencerminkan kondisi sosial suatu masyarakat. Pola pergerakan transportasi manusia juga merupakan salah satu cerminan kondisi sosial suatu masyarakat. Dalam waktu-waktu tertentu terkadang sejumlah besar penduduk melakukan pergerakan secara bersamaan secara masif dengan menggunakan sarana transportasi publik. Tentunya pergerakan penduduk ini akan berimplikasi pada perekonomian pula. Salah satu contoh dari kasus tersebut adalah fenomena mudik Lebaran.
Terdapat suatu fenomena menarik di masyarakat yang bisa disaksikan setiap tahun menjelang Idul Fitri atau Lebaran. Sebagian masyarakat daerah yang kebetulan bekerja di kota-kota besar menjalankan ritual tahunan berupa mudik ke tempat asalnya. Kerinduan terhadap daerah tempat dilahirkan dan dibesarkan, keinginan bersilaturahmi serta berkumpul bersama saudara dan handai taulan, serta motivasi lain semisal ingin menunjukkan keberhasilan hidup di kota, menjadi faktor pendorong dan alasan bagi warga masyarakat untuk pulang kampung.
Peristiwa itu seharusnya bisa ditangkap oleh pemerintah daerah untuk membantu pengembangan ekonomi Kabupaten atau Kota. Meskipun masa tinggal para pemudik di daerah asalnya tidak terlalu lama, hal itu tetap berdampak terhadap perekonomian daerah. Biasanya beberapa pemerintah daerah sudah menyiapkan acara penyambutan secara khusus terhadap para pemudik tersebut. Pola semacam itu bisa dikembangkan sehingga akhirnya timbul sinergi antara pemudik, kota besar, dan perekonomian daerah asal mereka.
Aktivitas mudik, terutama pada saat Lebaran di samping Natal dan Tahun Baru, merupakan perhelatan akbar tahunan yang diselenggarakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya pelaku mudik yang harus bekerja keras demi mewujudkan keinginan mereka, namun pemerintah dituntut pula berpartisipasi aktif dalam kegiatan itu.
Penyediaan sarana transportasi publik yang cukup, nyaman, dan memadai merupakan sebagian kecil tugas pemerintah yang dilakukan setiap tahun. Tahun lalu diperkirakan dua sampai tiga juta warga Jakarta kembali ke daerah asalnya untuk merayakan Lebaran bersama keluarga. Angka itu berarti lebih dari 30% total penduduk Jakarta yang berjumlah sekitar 8,4 juta jiwa.
Secara nasional diperkirakan ada sekitar 13,5 juta pemudik yang kembali ke daerah asalnya. Meski bersifat temporer, perpindahan penduduk dalam jumlah besar itu tentu berdampak secara ekonomi baik terhadap kota tempat bekerja maupun daerah-daerah yang dilalui dan dituju. Umumnya kaum pekerja yang ingin mudik harus mengumpulkan dan mempersiapkan dana jauh-jauh hari. Tidak berlebihan jika dikatakan mereka setahun penuh bekerja dan mengumpulkan uang dengan salah satu motivasinya agar bisa berlebaran di kampung halaman.
Perlu dicermati adalah apabila kegiatan mudik dikalkulasi secara ekonomi maka akan ditemukan fakta bahwa aktivitas tersebut melibatkan perputaran uang tidak sedikit. Memang belum ada penelitian dan perhitungan komprehensif mengenai masalah itu, namun diduga perputaran uang yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan kegiatan mudik bisa triliunan rupiah.
Fenomena ekonomi semacam itu menjadi bahan perdebatan antara pelaku, ekonom, dan pemerintah. Ada yang beranggapan mudik adalah pemborosan dan merupakan aktivitas yang bersifat counter productive. Secara ekonomi hal itu terkait dengan pemahaman mengenai konsep opportunity cost, yaitu uang yang sudah dipakai untuk satu kegiatan tidak akan bisa dimanfaatkan untuk kegiatan lain.
B. Kondisi Transportasi Publik Indonesia
Setelah membahas pengaruh mudik lebaran dan aktivitas ekonomi ada baiknya kita mengakaji kondisi sarana transportasi publik yang selama ini menghubungkan seluruh daerah di Indonesia dan menjadi pendukung aktivitas ekonomi masyarakat.
Secara garis besar kondisi sarana dan prasarana transportasi publik di Indonesia masih belum dioptimalkan. Hal tersebut dapat dievaluasi secara sederhana melalui pengamatan di lapangan. Dalam bahasa keseharian, terdapat empat hal yang kita bisa jadikan tolok ukur dalam melakukan evaluasi sederhana kondisi transportasi kita, yaitu: keselamatan, keamanan, keterjangkauan, dan kenyamanan (keempat hal ini selanjutnya disebut dengan 4K).
Aspek pertama dan utama adalah masalah keselamatan. Hal ini tidak bisa ditawar karena kita semua tentunya tidak menginginkan musibah menimpa diri kita. Berbagai data kecelakaan (Jasa Raharja, kepolisian, Departemen Perhubungan) yang selalu berbeda menunjukkan bahwa angka korban kecelakaan meninggal dunia dan luka cukup mencengangkan, yaitu mencapai sekitar 80 orang per hari.
Aspek kedua adalah keamanan. Berbagai survei transportasi, baik di perkotaan maupun antarkota dan desa memperlihatkan bahwa para penumpang umumnya masih menempatkan aspek ini ke dalam dua hal utama dalam melakukan perjalanan. Wawancara sederhana dengan para pemudik Lebaran lalu dari berbagai modal angkutan menunjukkan bahwa keamanan merupakan salah satu faktor yang sangat dipertimbangkan oleh para pemudik. Kenyataan ini konsisten dengan berbagai kajian bahwa faktor keamanan sangat memengaruhi keputusan seseorang dalam menentukan jenis kendaraan yang dipilih, misalnya bis dengan kereta api, pesawat dengan kendaraan carteran, dan lain-lain.
Ketiga adalah masalah keterjangkauan. Seseorang memilih alat angkut tentunya berdasarkan anggaran di kantong masing-masing. Ada yang bisa naik kapal terbang atau naik kapal laut, selebihnya dengan bis, kereta api, kendaraan pribadi, sepeda motor, atau yang lainnya. Pemerintah terlihat telah berupaya maksimal untuk mengatur tarif sehingga aspek keterjangkauan ini tidak menyusahkan rakyat banyak. Pelayanan angkutan kelas ekonomi, yang sering kali dianggap sebagai kewajiban pelayanan umum, telah dicoba untuk diatur sehingga masyarakat berpenghasilan rendah dapat memiliki berbagai aksesibilitas dalam aktivitas kesehariannya.
Fenomena low cost carrier atau kapal terbang yang terjangkau menyebabkan sebagian pemudik angkutan laut berpindah naik kapal terbang. Bandara menjadi semakin ramai dan bahkan overcrowded sehingga masalah 4K juga sekarang menular di angkutan udara. Di angkutan darat, tekanan terhadap kereta api tidak sedramatis dulu karena sekarang banyak alternatif bagi pemudik, misalnya bis yang jumlahnya cukup banyak, mobil carteran, dan bahkan sepeda motor yang semakin menjadi favorit di kalangan tertentu karna keterjangkauannya.
Aspek terakhir dari 4K adalah kenyamanan. Dalam suasana di mana pasokan (supply) jauh lebih kecil daripada permintaan (demand), maka aspek ini tampaknya harus agak ditoleransi oleh para penumpang angkutan umum, utamanya yang berkantong pas-pasan. Kenyamanan tampaknya menjadi aspek luxury bagi sebagian besar pengguna transportasi di Indonesia. Dari mulai mereka yang berjalan kaki, naik kendaraan tidak bermotor, sepeda motor, hingga kendaraan mewah, tidak akan terlepas dari aspek ketidaknyamanan, tentunya dengan derajat yang berbeda-beda.
Bagi mereka yang berpenghasilan rendah, aspek survival akan lebih mengemuka dalam melakukan perjalanan. Sedangkan bagi mereka yang berpenghasilan menengah ke atas, perjalanan pada waktu, ruang, dan moda yang sama (kendaraan pribadi) biasanya akan menyebabkan kemacetan dan berujung pada ketidaknyamanan.
Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya transportasi memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam perdagangan. Kelancaran dan ketepatan waktu pengiriman barang baik itu untuk ekspor maupun impor menjadi harga mutlak dalam perdagangan internasional.
Indonesia sebagai negara yang melakukan perdagangan dengan negara lain tentunya patut memperhatikan fakta tersebut. Selama ini arus barang dan jasa yang masuk menuju Indonesia didominasi oleh jalur udara dan perairan, mengingat kondisi Indonesia berupa negara kepulauan sehingga arus barang dan jasa yang masuk melalui Indonesia terbatas di Kalimantan (Malaysia Serawak), dan Papua (Papua New Guinea). Jalur perairan didominasi oleh kapal-kapal kargo dan tanker besar yang memasok barang baik keluar maupun masuk dari pelabuhan-pelabuhan utama di Indonesia. Kebanyakan dari kapal-kapal tersebut datang melalui Selat Malaka menuju Singapura dan berlabuh di pelabuhan utama Jawa. Jalur udara merupakan jalur yang lebih fleksibel dalam mengcover seluruh wilayah Indonesia, namun kapasitas angkutnya lebih terbatas dibandingkan dengan kapal.
Dalam aplikasinya di lapangan, kebanyakan hambatan dalam pendistribusian barang melalui perairan adalah faktor regulasi yang rumit dan pungutan liar. Akibatnya banyak pengiriman barang yang tertunda akibat waktu pengurusan izin. Disamping itu masalah keamanan juga menjadi isu yang penting. Selama ini kawasan selat Malaka masih disatroni oleh kawanan perompak yang kebanyakan bersembunyi di daerah Sungai Musi Palembang. Hambatan fisik berupa kondisi cuaca juga berpengaruh, namun semenjak ditemukanya peralatan navigasi perairan modern hambatan ini dapat dieliminir.
Hambatan dalam pendistribusian barang maupun jasa melalui udara kembali tidak lepas dari prosedur imigrasi dan pungutan liar sehingga arus distribusi cenderung melambat. Namun demikian jalur udara merupakan jalur distribusi yang permasalahnya tidak serumit jalur distribusi perairan dan elatif aman sehingga kerap dijadikan sarana bagi penyelundup untuk menyelundupkan barang baik keluar maupun masuk menuju Indonesia.
Hambatan-hambatan tersebut terkadang juga terkadang datang dari negara lain. Contohnya adalah masalah embargo ekonomi. Melalui embargo ekonomi negara lain dapat menutup hubungan dagang dan berakibat pada instabilitas pemasukan negara dari perdagangan.
Berbagai permasalahan dalam transportasi barang dan jasa baik dari luar negeri maupun dalam negeri dapat mengurangi volume perdagangan nasional. Hal tersebut dapat menciptakan penurunan volume dagang dan investasi. Pemerintah sudah sepatutnya memberikan perhatian yang cukup dalam menangani permasalahan-permasalahan tersebut untuk meningkatkan pemasukan Negara yang berguna bagi pembangunan.
C. Kebutuhan Energi di Sektor Transportasi
Proyeksi kebutuhan energi untuk sektor transportasi termasuk di dalamnya subsektor transportasi darat, udara, air dan kereta api. Kebutuhan energi yang terbesar didominasi oleh angkutan darat sebesar 80 % dari total kebutuhan. Transportasi darat diperkirakan akan tumbuh sebesar 5.2 % per tahun sedangkan untuk transportasi air dan udara naik masing-masing sebesar 7.1 % dan 6.6% pertahun. Transportasi air yang tumbuh paling cepat hanya mempunyai pangsa 14 % sedangkan transportasi udara dengan pangsa 9 % pada yang tumbuh sebesar 6.5 % per tahun. Pangsa konsumsi energi listrik ini masih sangat kecil yaitu sebesar 0.2 % pada tahun 2021 atau sebesar 5 PJ/tahun.
Berdasarkan skenario DNC dapat dihitung emisi polutan yang ditimbulkan oleh penggunaan energi di sektor transportasi berdasarkan koefisien emisi kendaraan bermotor. Untuk menentukan  koefisien  emisi  dilakukan pengambilan sampel gas buang kendaraan bermotor pada saat diam. Dilakukan juga observasi dengan menggunakan kamera video pada berbagai jenis kondisi lalu lintas. Pengambilan sampel dilakukan pada 350 kendaraan secara random di berbagai tempat di Jakarta. Dengan tambahan informasi dari literatur dan dengan menggunakan data hasil pengukuran dapat  ditentukan  koefisien  emisi. Yang termasuk dalam perhitungan ini adalah emisi NO2, SO2, SPM dan VHC untuk wilayah Jawa.
Beberapa kebijaksanaan pemerintah yang telah dilaksanaan untuk mengurangi emisi polutan dan diversifikasi penggunaan energi di sektor transportasi ditunjukkan pada Tabel 2. Bensin yang saat ini beredar yaitu Premium RON 92, Premix RON 94, Premium TT dan Super TT. Dengan adanya bensin tanpa Pb ini maka terbuka peluang untuk pemasangan katalitik konverter yang dapat mengurangi emisi polutan dari gas buang kendaraan bermotor. Sedangkan penggunaan kendaraan berbahan bakar gas (CNG maupun LPG) disamping akan mengurangi emisi juga untuk menunjang program diversifikasi. Pada skenario ERC pengurangan emisi ditekankan pada penggunaan katalitik konverter pada kendaraan berbahan bakar bensin dan penggunaan mesin diesel yang beremisi rendah. Dengan skenario ERC dapat mengurangi emisi rata-rata sebesar 85 % bila dibandingkan dengan skenario DNC. Pengurangan emisi SO2, NO2, VHC dan SPM pada tahun 2021 di Jawa masing-masing adalah sebesar 0.07 juta ton per tahun, 0.65 juta ton per tahun, 0.20 juta ton per tahun dan 0.01 juta ton per tahun. Pengurangan terbesar emisi NO2 dan VHC karena penggunaan katalitik konverter.
D. Penggunaan Teknologi Pengurangan Emisi
Teknologi yang dapat digunakan untuk mengurangi emisi gas buang adalah penggunaan katalitik konverter pada kendaraan yang berbahan bakar bensin dan penggunaan mesin diesel yang beremisi rendah. Beberapa negara maju telah melakukan penelitian serta menggunakan katalitik konverter untuk mengurangi emisi NOx, CO dan VHC dari gas buang kendaraan yang menggunakan BBM. Pemasangan katalitik konverter untuk mobil baru dapat menurunkan emisi NOx, CO dan VHC sebesar 90 %.Persentasi penurunan emisi Nox dapat berkurang sampai menjadi 70 % untuk mobil yang sudah beroperasi lebih dari 80.000 km. Katalitik konverter ini hanya bisa diterapkan untuk kendaraan yang menggunakan BBM yang tidak mengandung Pb (tanpa TEL). Biaya tambahan untuk pemasangannya adalah sebesar 5 % dari rata-rata harga mobil. Penetapan suatu standar yang berupa undang-undang atau surat keputusan diperlukan sebagai upaya untuk pengendalian pencemaran. Sampai saat ini sudah ada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Keputusan Menteri KLH tahun 1988 tentang Pedoman Baku Mutu Lingkungan, Keputusan Menteri KLH tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak dan untuk DKI Jakarta ada SK Gubernur tahun 1996 tentang Baku Mutu Udara Ambien dan Tingkat Kebisingan. Dengan adanya standar ini diperlukan pelaksana pengawasan sehingga baku mutu yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Dengan meningkatkan efisiensi penggunaan energi maka energi yang dibutuhkan per unit output akan berkurang sehingga akan mengurangi besarnya emisi per unit operasi kendaraan tiap kilometer. Peluang untuk meningkatkan efisiensi dan konservasi masih terbuka untuk sektor transportasi. Penetapan suatu standar yang berupa undang-undang atau surat keputusan diperlukan sebagai upaya untuk pengendalian pencemaran. Sampai saat ini sudah ada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Keputusan Menteri KLH tahun 1988 tentang Pedoman Baku Mutu Lingkungan, Keputusan Menteri KLH tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi
Sumber Tidak Bergerak dan untuk DKI Jakarta ada SK Gubernur tahun 1996 tentang Baku Mutu Udara Ambien dan Tingkat Kebisingan. Dengan adanya standar ini diperlukan pelaksana pengawasan sehingga baku mutu yang telah ditetapkan dapat tercapai. Dengan meningkatkan efisiensi penggunaan energi maka energi yang dibutuhkan per unit output akan berkurang sehingga akan mengurangi besarnya emisi per unit operasi kendaraan tiap kilometer. Peluang untuk meningkatkan efisiensi dan konservasi masih terbuka untuk sektor transportasi.


















BAB III
KESIMPULAN
Sektor transportasi tumbuh dan berkembang seiring dengan peningkatan erekonomian nasional. Transportasi merupakan sarana yang penting bagi masyarakat modern untuk memperlancar mobilitas manusia dan barang. Saat ini BBM merupakan andalan utama bahan bakar di sektor transportasi. Pada tahun delapan puluhan, pemakaian bahan bakar minyak (BBM) di sektor transportasi telah mengalami pertumbuhan sebesar 6,8 % per tahun. Mengingat sumber daya minyak bumi semakin terbatas maka perlu diupayakan diversifikasi energi untuk sektor transportasi. Gas buang sisa pembakaran BBM mengandung bahan-bahan pencemar seperti SO2 (Sulfur Dioksida), NOx (Nitrogen Oksida), CO (Karbon Monoksida), VHC (Volatile hydrocarbon), SPM (Suspended Particulate Matter) dan partikel lainnya. Bahan-bahan pencemar tersebut dapat berdampak negatif terhadap manusia ataupun ekosistem bila melebihi konsentrasi tertentu.
Dengan peningkatan penggunaan BBM untuk sektor transportasi maka gas buang yang mengandung polutan juga akan naik dan akan mempertinggi kadar pencemaran udara. Oleh karena itu perlu suatu strategi yang tepat dalam penggunaan energi di sektor transportasi untuk mengurangi  emisi  polutan  ini  sehingga penggunaan energi dapat tetap ramah terhadap lingkungan.
Dengan skenario DNC penggunaan energi di sektor transportasi untuk jangka panjang akan dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan akibat emisi gas buang. Pencemaran lingkungan tersebut dapat dikurangi dengan menerapkan teknologi baru untuk kendaraan bermotor. Teknologi yang bisa diterapkan untuk mengurangi emisi khususnya yang berupa emisi NOx, CO dan VHC adalah : penggantian BBM ke BBG, pemasangan katalitik konverter pada kendaraan berbahan bakar bensin dan penggunaan mesin diesel yang beremisi rendah. Teknologi ini diterapkan pada skenario ERC sehingga dapat mengurangi emisi NO2, SO2, SPM dan VHC.
Peluang terbesar untuk mengurangi emisi adalah penggunaan katalitik konverver dan penggunaan mesin diesel yang beremisi rendah karena BBM Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai transportasi dan pengaruhnya pada aspek sosial dan ekonomi antara lain adalah :
  1. Kebutuhan transportasi merupakan kebutuhan turunan (derived demand) akibat aktivitas ekonomi, sosial, dan sebagainya.
  2. Sarana transportasi yang ada di darat, laut, maupun udara memegang peranan vital dalam aspek sosial ekonomi melalui fungsi distribusi antara daerah satu dengan daerah yang lain.
  3. Kebanyakan dari negara maju menganggap pembangunan transportasi merupakan bagian yang integral dari pembangunan perekonomian. Ada baiknya pemerintah memperhatikan hal tersebut.
  4. Sistem transportasi dan logistik yang efisien merupakan hal penting dalam menentukan keunggulan kompetitif dan juga terhadap pertumbuhan kinerja perdagangan nasional dalam ekonomi global.
  5. Secara tidak langsung transportasi mencerminkan kondisi social suatu masyarakat.
  6. Berbagai permasalahan dalam transportasi barang dan jasa baik dari luar negeri maupun dalam negeri dapat mengurangi volume perdagangan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar